Baru
beberapa hari yang lalu saya mendapat kabar dari teman bahwa sekarang
ini dibuka kelas tambahan untuk hafalan Qur’an di sekolah anak-anak.
Tawarannya cukup menarik karena anak-anak ditargetkan akan menghafal
satu halaman per hari, Senin sampai Jum’at. Bayarannya lumayan murah
lagi, hanya dua ratus lima puluh ringgit per bulan berbanding tawaran
beberapa semester lepas yaitu enam ratus ringgit.
Saya pun mulai kasak kusuk membujuk si Abang (anak
ke-dua) agar mau ikut dalam kelas tambahan itu. Si sulung sementara ini
sengaja kami tidak kursuskan karena dia sudah kelas enam dan sebentar
lagi ada ujian akhir, sementara anak ketiga baru kelas satu dan
mengajinya juga belum lancar. Karena itu hanya Abang yang saya harap mau
ikut kelas tambahan itu. Tapi saya juga gak mau memaksakan keinginan
saya itu.
“Bang,
ada kelas tambahan untuk hafalan Qur’an loh bang. Bagus kalau Abang
ikut kelas ini, nanti hafalan Abang cepat nambah. Si A dan si B
juga ikut loh.” Kataku.
“Untuk
apa Ma? Kan di sekolah juga sudah ada kelas hafal Qur’an. Dan Abang
hafalannya bagus kok. Kelas tambahan itu buat anak-anak yang hafalannya
kurang saat di kelas.” Tukasnya.
“Bukan
begitu Bang. Kelas ini gak ada hubungannya sama kelas hafalan yang
sudah ada. Ini kamu mulai lagi dari nol. Tapi lebih fokus karena
kelasnya setiap hari, dua jam sehari. Mama yakin kamu akan lebih banyak
dapat hafalannya. Apalagi Mama dengar setiap dua jamnya itu anak-anak
akan menghafal satu halaman.”
“Dua jam? Dari jam berapa sampai jam berapa Ma?” tanyanya.
“Saat pulang sekolah Bang. Jam 4 sampai jam 6.”
“Hah?
Jam empat sampai jam 6 Ma? Ya Allah Ma, kan Abang sudah capek
sekolahnya dari pagi sampai jam 3 setengah? Enggak-enggak. Abang gak
mau. Abang capek. Kapan bisa istirahat, kapan Abang bisa main?!”
Tolaknya dengan tegas.
“Tapi apa salahnya Abang coba dulu? Kali aja menghafalnya bisa sambil main gitu Bang.”
“Ah, Mama. Mana ada kelas Qur’an bisa sambil main. Enggak! Abang gak mau.”
Saya diam
saja mendengarnya. Memang sih ada benarnya juga dia. Sekolah dari pagi
sampai jam 3 setengah. Alangkah capeknya. Makanya selama ini juga kami
gak tega memintanya untuk ikut les ini itu. Tapi karena kami pikir ini
kelas hafalan Qur’an, insya Allah manfaatnya tentu lebih besar. Capek
dikit juga gak apa-apa. Dan keinginan kami agar anak-anak ini bisa
menghafal Qur’an memang besar sekali. Meskipun untuk sementara ini kami
belum ada target khusus kapan anak-anak ini harus hafal Qur’an. Apalagi
di sekolahnya juga ada kelas hafalan Qur’an, hanya saja memang agak
lambat. Mengharapkan anak-anak menghafal di rumah juga rasanya kurang
efektif. Tapi ya, kalau memang Abang gak bersedia saya juga gak mau
memaksa. Maka saya pun diam saja. Ayahnya juga setuju saja agar anak
jangan dipaksa.
Dua
atau tiga hari berselang, saya juga sudah tidak menyinggung soal kelas
hafalan Qur’an lagi ke anak-anak. Meskipun secara diam-diam saya masih
mencari tahu soal kelas Qur’an dari teman yang anaknya ikut kelas ini
tentang bagaimana metodenya, apakah anak-anak bisa enjoy atau tidak.
Saya
masih terus berharap dan berdoa agar si Abang mau ikutan. Bahkan saya
juga mencoba meminta teman agar anaknya membujuk si Abang agar mau
ikutan kelas itu bersamanya. Siapa tahu dengan cara itu Abang jadi mau
ikut. Hingga hari itu ketika pulang sekolah seperti biasa saya menjemput
mereka pulang. Dalam perjalanan pulang itu tiba-tiba si Abang bertanya
begini,
“Ma, kata temanku, kiamat gak lama lagi ya?”
“Hmmm...” narik napas dulu sambil mikir jawaban yang tepat.
“Ah, pasti temanmu itu kebanyakan nonton filem.” Tukas Kakak.
“Betul
tuh kakak. Mungkin karena temanmu itu habis nonton film 2012 kali Bang.
Tapi begini Bang, soal kiamat sudah hampir terjadi atau belum, itu gak
ada yang tau tepatnya kecuali Allah. Kita manusia hanya disuruh percaya
bahwa kiamat pasti akan terjadi. Kapan itu terjadinya kita gak tau. Tapi
Nabi kita mengajarkan kita bahwa ada 10 tanda-tanda besar kalau kiamat
itu sudah hampir terjadi. Kebetulan Mama lagi baca buku tentang itu.
Nanti kita baca sama-sama ya.”
“Oh ya? Saya jadi pengen tau. Apa aja itu Ma?” kata Kakak dan Abang hampir berbarengan.
“Nanti
kalau tiba di rumah. Yang penting Bang, kita harus percaya bahwa kita
pasti mati. Kiamat pasti terjadi. Karena itu kita harus siap-siap.
Caranya ya itu yang Nabi kita ajarkan. Kita disuruh sholat, mengaji,
berpuasa, zakat, sedekah, berhaji dan berbuat baik semua itu buat kita
setelah mati itu atau setelah kiamat itu.”
“Iya itu buat bekal kita di akhirat kelak ya Ma.” Sambung Kakak.
“Betul Kakak.”
Sampai di
rumah anak-anak masih sibuk membincangkan soal tanda-tanda kiamat.
Hingga selesai sholat maghrib seperti biasa anak-anak mengaji satu per
satu. Selesai mengaji si Abang masih menimang-nimang Qur’annya sambil
sepertinya pikirannya melayang kemana-mana. Dan tiba-tiba,
“Ma, Abang setuju deh ikut kelas hafalan.”
“Bener nih Bang?” tanyaku surprise.
“Iya Ma, Abang mau ikut kelas hafalan itu.” katanya lagi.
“Bener nih gak takut capek Abang?” tanyaku memastikan.
“Ah enggaklah yang lain juga bisa kok.”
“Ya sudah alhamdulillah Mama juga senang kalau Abang mau ikutan. Besok Mama daftarin langsung.”
Subhanallah,
Allah memang maha agung. Allah senantiasa menuntun hamba-hambanya
menemukan jawaban atas doa-doanya. Selagi kita masih terus berusaha dan
berdoa. Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih Engkau telah menuntun kami
dan membuka hati anak-anakku. Semoga kami menjadi orang-orang yang
sholeh yang Engkau ridhoi. Amin...
No comments:
Post a Comment